Kuburan yang ditelan, Rumah yang
Runtuh
Rianti
Devi Candra
Kamu tidak
tahu berapa windu sudah ku habis ku telan
Tentang rindu
yang ku tenggelamkan di wajah rembulan
Tempat yang
dulu ku sebut rumah, kini sudah runtuh
Dan sekarang
jadilah aku sang tunawisma yang tertatih
Tertatih
untuk belajar berdiri diatas kuburan hati atas nama kita
Tega sekali
kamu tuan, sudah terbaring mati dan Ketika aku hampir mati jua
Malah kau
selamatkan aku dengan memberi nafas terakhir yang sia-sia
Tak tahu kah
kamu kini aku merupakan puan yang tak bernyawa?
Tak tahu kah
kamu kini aku perlahan mati berkali-kali?
Berlutut di
bawah hujan mengadah pada langit untuk sekali saja iba
Mencintaimu
merupakan resiko purna atas hidup dan matinya hati yang terlahir setia
Kamu tidak
tahu, puan yang pernah kamu cintai ini dahulunya adalah lidah pembohong yang
hebat
Tapi sejak
bertemu denganmu, karena aku tahu kamulah orangnya. Aku rencakan nubuat
Berjanji dan
bersumpah di bawah guratan langit, dengan warna kesukaan kita, untuk aku mencintaimu
Setulus
kerang menjaga, sekuat gua yang menganga, serimbun surga
Sampai kau
sendiri yang berlisan bahwa aku pembohong yang buruk
Sampai kau
pergi dan membuat aku terjatuh. Terjerembab. Tertatih. Terpuruk.
Tidak
terhitung sayatan yang tercipta sejak saat itu, dan aku bersumpah atas nama candra,
sang rembulan
Bahwa aku
akan bangkit, dari kuburanku sendiri yang terlihat sakit
Lalu, ku kira
aku bertemu rumah
Ku kira aku akan
diizinkan untuk setidaknya berteduh
Dari luka
menganga yang sedang ku jahit dengan jarum rajut
Dari darah
yang terjun bebas pun lahir perasaan tulus padamu
Kau kira aku
seperti puan lain yang tidak akan terluka jika terpaksa berucap pisah setelah
temu?
Perlukah aku
tunjukkan padamu robekan hati dari gumpalan rasa yang ku rawat?
Tak apa, jika
semesta berkata kamu adalah rumahku, aku akan ditarik Kembali dengan darurat